Seminar Nasional dan Sosialisasi Membangun Budaya Digital di Perguruan Tinggi


Rabu, 05 Desember 2012 14:03 WIB


Prof. Dr. Musa Asyarie membuka seminar dengan Gong Digital

(4/12/2012) Pusat Komputer dan Sistem Informatika (PKSI) UIN Sunan Kalijaga adakan Seminar nasional dengan tema "Digital Lifestyle Experience for Higher Education". Acara  ini diadakan digedung Convention Hall dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen, karyawan dan masyarakat umum. Seminar ini dibuka langsung oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Musa Asy'arie dengan Gong Digital. Menurut Ketua PKSI, Agung Fatmanto, Ph.D., kegiatan ini diadakan sebagai komitmen UIN Sunan Kalijaga dalam mewudkan kampus digital dan sebagai upaya membangun budaya  digital di perguruan tinggi. “ Di era globalisassi saat ini, perguruan tinggi harus memaksimalkan pengunaan tekhnologi digital, mengingat perkembangan arus informasi yang begitu pesatnya, hal ini sebagai imbas dari kemajuan dunia digital yang terjadi saat ini. Penerapan teknologi digital juga harus dibarengi dengan peningkatan pengetahuan teknologi komputerisasi bagi seluruh civitas kampus, baik dosen, pegawai dan mahasiswanya, agar menjadi sinergisitas”, tutur Agung Fatmanto yang juga dosen pada Fakultas Sains dan Teknologi. Dalam seminar ini menghadirkan Ryan Fabella (Client Software Architec IBM), Pepita Gunawan (Indonesian Google Southeast Asia dan Agung Fatmanto, Ph.D. sebagai pembicara.
Dalam sambutannya Musa Asyarie menyampaikan bahwa, UIN Sunan Kalijaga akan senantiasa mengembangkan kampus menuju kampus digital, karena, dengan penerapan teknologi digital, semua akses informasi akan menjadi mudah. Perkembangan teknologi yang begitu pesat seharusnya kita manfaatkan dan direspons secara positif, jangan sampe dengan perkembangan itu kita malah menjadi keblinger. “ Saat ini kita sudah dikuasai oleh dunia ‘kotak’, karena sebagian besar alat teknologi yang kita gunakan berbentuk kotak, PC, Monitor, PC Tablet, HP, Laptop semuanya berbentuk kotak. Melihat hal ini, kita jangan sampai dikotak-kotakkan oleh barang ‘kotak’ ini. Karena dengan barang ‘kotak’ ini individualisme akan semakin meningkat, untuk itu filter dalam penggunaan teknologi di era digital ini sangat penting”, tutur Musa.
“ Dalam acara ini juga dihadiri oleh delegasi PTAIN se-Indonesia dan delegasi pusat komputer Perguruan Tinggi dan civitas Mahasiswa se-DIY ”, tambah Agung. *(Doni Tri W-Humas UIN Suka)
 

IDENTITAS NASIONAL




A.       Pengertian Identitas Nasional
Identitas berasal dari bahasa Inggris, yaitu kata “identity” yang berarti identitas atau persamaan. Identitas dapat diartikan sebagai ciri-ciri, individualitas, jati diri, personalitas, label, nama, ataupun sebutan.  Identitas juga dapat diartikan sebagai kondisi atau keadaan untuk menjadi sesuatu yang khusus atau spesifik sehingga bisa dibedakan dengan sesuatu yang lain. Sedangkan nasional berasal dari bahasa inggris, yaitu kata “national” yang memiliki arti kebangsaan, dalam negeri, domestik, atau lokal.

ADAKAH PANCASILA DI INDONESIA??


 
Berita kemarin-kemarin di media massa membuat semua orang terlena untuk menyaksikan hal-hal yang harus semestinya di saksikan. Tak ada media massa yang lepas atau ketinggalan dengan adanya isu nasarudin meninggalkan indonesia.dari mulai media massa televisi,radio maupun surat kabar. Semua tertuju dengan adanya kasus yang telah menjadi salah satu budaya bangsa kita yaitu bangsa indonesia. Salah satu  budaya kita yang sekian lamanya dibuat,kini tambah merajalela. Budaya itu telah tertanam sejak 350 tahun yang lalu yaitu budaya korupsi. Harus kita sadari bahwa budaya korupsi di indonesia ini sudah tidak asing lagi, budaya ini sudah melekat maupun sudah menyatuh dengan tubuh kita.

MEMAHAMI ISTILAH-ISTILAH DALAM TASAWUF



MEMAHAMI ISTILAH-ISTILAH DALAM TASAWUF
A.   Menjelaskan Pengertian Maqamat dan Al-Ahwal Dalam Tasawuf
1.      Maqamat
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang berapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju tuhan, di kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tasawwuf, sebagaimana dikutip harun nasution misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada 10, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridho, al-mahabbah dan al-ma’rifah.

KEPEMIMPINAN


                                                               
A. PENDAHULUAN
            Pandangan islam merumuskan tentang kepemimpinana adalah seorang khalifah. Baik kepemimpinan dalam rumah tangga maupun dalam organisasi atau kepala Negara. Dalam prinsip khalifah,manusia diturunkan kedalam bumi untuk memimpin dan memelihara alam semesta ini. Dewasa ini Islam memiliki banyak pandangan atau pendapat mengenai Kepemimpinan. Wacana kepemimpinan yang berkembang ini, di awali setelah Rasulullah SAW wafat. Masyarakat Islam telah terbagi-bagi kedalam banyak kelompok atau golongan. Kelompok-kelompok Islam ini terkadang satu sama lain saling menyalahkan atau bahkan mengkafirkan.Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu wacana yang selalu menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat.Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa Al-qur’an itu sudah bersifat final dan tidak dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya.

TAFSIF BIL MA’TSUR


 TAFSIF BIL MA’TSUR

A.    PEMBUKAAN
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kepada Allah sang khaliq pencipta seluruh yang ada di alam semesta ini yaitu Allah azzawajalla.
Berkat limpahan nikmat islam dan nikmat iman , serta nikmat-nikmat yang lain yang tiada kira, nikmat kesehatan,nikmat kenikmatan kepada kita semua, sehingga sampai saat ini kita masih dapat berpegang teguh kepada penyempurna agama-agama sebelumnya yaitu agama islam, yang harus kita yakini akan membawa kita kedalam alam akhirat yang abadi yaitu surga Illahi Rabbi.
Sholawat beriringan dengan salam, senantiasa kita panjatkan kepada junjungan besar kita Nabi agung Muhammad SAW. Khotamul ambiya wal mursalin yaitu sebagai penutup para Nabi dam Rasul sebagai pembawa rahmat dari Allah SWT yang diberikan kepada umat-umatnya yang beriman kepada-Nya, yang pastinya bukanlah satu-satunya harapan kita, satu-satunya ujung tombak kita agar selamat di dunia dan di akhirat dengan pemberian syafaat Allah melalui Nabi Muhammad SAW yang diberikan kepada kita.
Ada dua bentuk tafsir, tafsir bi ma’tsur dan tafsir bi ra’yi. Disini kemi dari kelompok 1 akan membahas beberapa hal yang menyangkut dengan tafsir bil ma’tsur. Beberapa pengertian dan banyak kitab-kitab yang akan kita bahas bersama. Semoga Ilmu yang kita pelajari bersama akan bermanfaat dan diridhoi oleh Allah. Amin.
B. PEMBAHASAN
1. Awal-Awal Munculnya Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, ummat Islam pada dasarnya belum mengalami kesulitan yang parah dalam memahami isi kandungan kitab suci Al-qur’an, hal demikian karena apabila terdapat bahagian-bahagian tertetu dalam Al-qur’an yang dianggap rumit, para sahabat akan saling mendiskusikannya satu sama lain yang barang kali ada di antara mereka yang yang mengetahui bagaimana penafsiran Nabi terhadap persoalan dimaksud.
Walaupun demikian tidak dapat terelakkan terhadap beberapa persoalan-persoalan yang muncul setelah Nabi wafat, yakni ketika para sahabat tidak menemukan gambaran hukumnya melalui tafsiran-tafsiran yang berdasarkan penafsiran Rasulullah SAW. Lalu bagaimanakah sikap para sahabat saat mengalami prihal tersebut.? Oeleh Muhammad Zaini menjelaskan dalam bukunya  Ulumul Qur’an suatau pengantar: “Jika hal ini tidak ditemukan, maka mereka melakukan ijtihad sedapat mungkin dengan melakukan upaya internalisasi dengan nabi. Upaya internalisasi disini maksudnya adalah merasakan seolah-olah Nabi hadir disisi mereka.yakni pada saat upaya ijtihad dilakukan”.
Jadi bila terdapat persoalan yang tidak ada jawaban hukumnya, dalam hal ini para sahabat tidak langsung melakukan ijtihad sebelum menempuh upaya-upaya terhadap penelusuran atau mencari bentuk tafsiran-tafsiran yang telah ada dari Nabi, dengen kata lain, bila ada persoalan hokum para sahabat lebih dulu melihat sejauh mana masalah ersebut telah ditafsirkan oleh Rasulullah, dan siapa sahabat-sahabat lain yang mengetahui bagaimana penafsiran Nabi tehadap masalah tersebut.
Langkah dan upaya para sahabat seperti tersebut diatas selanjut nya diikuti oleh para tibi’in berikutnya. Yakni mereka mempedomani model-model yang berdasarkan tafsiran Nabi, dan sahabat yang diakui oleh semua kalangan tabi’in sebagai guru mereka.
Secara historis, tafsir bilma’tsur  hinnggga penghujung generasi tabi’in yaitu sekitar tahun 150 H. dan setelah tahun tersebut sejarah tafsir memasuki priode ke dua sejarahnya, pada periode kedua ini ummat Islam ditantang oleh brbagai kebutuhan untuk memahami dan enafsirkan al-Qur’an lebih instensif.
Didalam masa tabi’in timbullah usaha-usaha munyusun kitab-kitab tafsir, dalam masa inilah dikumpulkan pendapat-pendapat sahabat dan pendapat-pendapat tabi’in maka terwujudlah beberapa kitab tafsir diantaranya: Tafsir Sufyan Ibnu Umayyah, Tafsir Wali Ibnu al-Jarah, Tafsir Syu’bah Ibnu al-hajjaj dan lain-lain.  Adapun tafsir yang sudah ada di pandang belum dapat mejawab semua tantangan dan persoalan-persoalan baru.
ü Dasar-Dasar Pambahagian Metode Tafsir dan Corak Ragamnya
Seiring dengan putaran waktu, ilmu tafsir terus berkembang, dan kitab-kitab atau buku yang  berkenaan dengannya terus bertambah dalam beraneka corak ragamnya masing-masing sesuai dengan perkmbangan masanya sendiri.
Para ulama tafsir belakangan kemudian memilah kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisannya kedalam empat bentuk tafsir, yaitu: metode tahlili, ijmali, muqarin dan mawdhu’i.
Selanjutnya dalam memberikan pengertian metode tahlili yang termasuk dalam salah satu dari empat pembahagian bentuk tafsir, sekelompok tim penulis Prof. Dr.M. Qiraish Shihab dan kawan-kawannya menjelaskan dalam buku nya Sejarah dan Ulumul Qur’an bahwa: Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoriti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an Mushaf ‘utsmani.
Melihat dari definisi tafsir tahlili diatas dapat dipahamii bahwa: seorang pentafsir yang menempuh jalan ini diharuskan mampu memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek yang terkait dan terkandung dalam sebuah ayat yang di tafsirknya.
Maka dari bentuk tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahlili yang jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan ada tujuh metode tafsir yang terkandung didalam tafsir tahlili, salah satu diantaranya adalah: Al-tafsir bi al-Ma’tsur, (yang dikaji dalam makalah ini), sedangkan  yang lainnya yaitu: Al tafsir bi al-ra’yu, Al tafsir al-faqih, Al tafsir al-sufhi, Al tafsir al-falsafi, Al tafsir al-‘ilmi dan Al tafsir al-ijmali.
ü Defenisi al-Ma’tsur
Pengertian Al-ma’tsur adalah berasal dari kata atsar yang berarti bekas, yakni segala sesuatu yang ditinggal oleh generasi sebelunmnya.
Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul (obyek) dari kata atsara ya’tsiru atau yuastiru atsran wa-atsaratan yang secara etimlogi berarti menyebutkan atau naqal   (mengutip), memuliakan atau akrama (menghormati). al-atsara juga berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan, dimana Pada hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu: mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada pada orang lain atau masa lalu.
ü Defenisi al-Tafsir bil al-Ma’tsur
Sejalan dengan pengertian harfiah tafsir bil al-ma’tsur yang dikenal juga dengan tasir bi al-riwayah, tafsir bi al-manqul, adalah: penafsiran yang dilakukan dengan cara menafsirkan al-Qur’an dengan petunjuk al-qur’an itu sendiri, menafsirkan ayat al-qur’an dengan al-sunnah al-mubayyinah, dan atau  menafsirkan al-Qur’an dengan kalam (pendapat) Sahabat, bahkan Tabi’in menurut sebahagian Ulama.
Dalam buku Ilmu Tafsir (DR. Rosihan Anwar), Al-farmawi menjelaskan, tafsir bi al-ma’tsur (disebut pula bi ar-riwayah dan an-naql) adalah penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan al-Qur’an itu sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para Sahabat melalui ijtihatnya, dan pendapat (aqwal) tabi’in.
Dengan demikian dari pemahaman sejumlah literatur diatas yang menjelaskan pengerian tafsir bi al-ma’tsur, dapat disimpulkan bhawa al-tafsir bil al-ma’tsur adalah penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan mempergunakan a) ayat-ayat Al-Qur’an, b) riwayat yang berasal dari Rasulillah Saw, c) riwayat dari sahabat, atau d) riwayat dari para tabi’in menurut sebahagian Ulama.
2. Bentuk-Bentuk Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Perkembangan metode tafsir ini dapat dibagi menjadi dua priode, yaitu priode lisan ketika penafsira dari nabi SAW dan para sahabat disebarluaskan secara periwayatan. Dan priode tulisan ketik riwayat-riwayat yang sebelunya tersebar secara lisan itu mulai dibukukan.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil al-ma’tsur menempuh tiga priode: priode pertama yaitu masa Nabi, sahabat dan permulaan masa tabi’in ketika tafsir belum ditulis, pada priode ini, periwayatan tafsir secara umum dilakukan  dengan lisan ( musyafahah ). Priode kedua dimulai dengan masa mengodifikasikan hadits secara resmi, yakni pada pemerintahan Umar Abd Al-‘Aziz ( 95-110.H. ), tafsir bi al-ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu bab hadits, dan pada priode ketiga dimulai dengan penulisan kitab tafsir bi al-ma’tsur dan berdiri sendiri.
Jadi dapat kita pahami bahwa, tafsir bi al-ma’tsur tumbuh dan berkembang dalam dua bentuk tahapannya: yang pertama adalah tahapan periwayatan (lisan), dan yang kedua adalah tahapan dalam bentuk pen-tadwinan (pembukuan).
ü Tafsir bi al-ma’tsur dalam bentuk periwayatan (lisan).
Pada tahap pertama,( tafsir bi al-ma’tsur dalam bentuk periwayatan), maksud atau tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dijelaskan oleh  Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah sendiri sebagai penerima wahyu menjelaskan maksud al-Qur’an kepada para sahabat yang
Kemudian menyebarkannya kepada para sahabat lain yang tidak hadir mengikuti majlis Nabi Saw.  Jadi situasi yang demikian rupa terus berlangsung dan berkelanjutan dikalangan para sahabat, yakni penafsiran dalam bentuk periawayatan dari mulut kemulut (syafahiy) sampai pada masa para tabi’in yang kemudiannya berkembang dalam bentuk tadwin (tulisan).
ü Tafsir bi al-ma’tsur dalam bentuk pen-tadwinan (pembukuan)
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pada masa tabi’in Tafsir bi al-ma’tsur mulai berkembang dalam bentuk pentadwinan (pembukuan), yakni pengumpulan terhadap riwayat-riwayat  yang berkenaan dengan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an.
Hanya saja  masih menyatu dengan  yang lain, sampai pada periode ini tafsir belum mempunyai bentuk yang spesifik. Jadi konkritnya, tafsir dalam tahap ini riwayat-riwayat mengenai al-Qur’an yang dikumpulkan dalam satu bab tersendiri.
Dalam dua masa tersebut (masa sahabat dan tabi’in), banyak melahirkan tokoh-tokoh tafsir dari kalangan sahabat dan tabi’in itu sendiri. Tokoh tafsir dari kalangan sahabat dapat disebutkan seperti: Abdullah ibn Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Abu Bakar, Aisyah binti Abu Bakar, Zaid ibn Tsabit dan lain-lain. Sedangkan tokoh tafsir dari tabi’in dapat disebutkan seperti: Mujahid, Atha ibn Rabah, Ikrimah, Sa’id ibn Jubir, Zaid bin Aslam, Qatadah, Hasan AL-Bashri dan lain-lain.
Seiring dengan maraknya kemajuan ilmu pada akhir Bani Umayyah dan awal periode Bani Abbasiyah, tafsir lahir dan berkembang menjad ilmu yang berdiri sendiri, terpisah dari hadits. Sejak saat ini kajian tafsir yang membahas seluruh ayat al-Qur’an, ditulis dan disusun sisuai dengan susunan yang terdapat di dalam al- mushaf.
Maka dimasa khalifah Abbasiah inilah usaha penulisan kitab-kitab tafsir terwujud dan berkembang dikalangan tokoh-tokoh cendikiawan islam seperti kitab at-Tafsir ibn Katsir (Ibnu Katsir), kitab atiTafsir Aththabari (at-Thabari).
4. Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-ma’tsur:
a. Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’annya Ibn Jaris Ath-Thabari (w. 310/923).
b. Anwar At-Tanzil karya Al-Baidhawi (w. 774/1286).
c. Ad-Dur Al-Mansur fi At-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal Ad-Din As-Saythi (w.911/1505).
d. Tanwi Al-Miqbas fi At-Tafsiar Ibnu Abbas karya Fairud Zabadi (w.817/1414)
e. Tafsir Al-Qur.an al-azhim karya Ibnu Katsir (w.774/1373)
3. Thabaqah Masing-Masing Sumber Tafsir Bi Al-Ma’tsur
ü  Al- Qur’an, Bagi para Ulama  penafsiran ini (al-Qur’an dengan al-Qur’an) menduduki posisi yang paling utama , atau model penafsiran yang terbaik.
Para Ulama mengemukakan illah (alasan) nya, karena yang paling mengerti dan mengetahui makna ayat-ayat al-Qur’an adalah penuturnya sendiri yakni al-Qur’an itu sendiri. Jadi, al-Quran merupakan sumber terbaik dan paling sahih untuk menafsirkan al-Qur’an.
ü  As-Sunnah. Karena tidak semua nash al-Qur’an dijelaskan oleh al-Qur’an, maka keberadaan as-Sunah sangat penting  sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an.  Sebagai rujukan referensi tafsir bi al-ma’tsur
ü  Penjelasan Sahabat. Sealin al-Qur’an dan as-Sunnah pandangan para sahabat juga berfungsi sebagai rujukan reperensi tafsir bi al-ma’tsur yang berada pada urutan yang ketiga setelah as-Sunnah.
ü  Pendapat Tabi’in. Aqwal (pendapat) para tabi’in sejalan dengan sebahagian pandapat Ulama, maka ia termsuk rujukan referensi sumbertasir bi al-ma’tsur yang berada pada urutan menyusul aqwal ata penjelasan para sahabat
C. PENUTUP
Dari semua uraian makalah ini dapatlah kita tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: pertama, Karena kebergaman pola penafsiran yang berkembang, perlu kiranya mengenal bentuk tafsir yang lebih sedikit kemungkinan tersalahnya.. Kedua, tafsir bi Al-ma’tsur adalah salah satu model tafsir yang aman dari keterslahan dalam menjelasakan makna dan maksud al-Qur’an, ini karena rujukannya adalah al-Qur’an itu sendiri, hadits, perkataan sahabat dan qaul tabi’in. dan yang ketiga, menurut jumhur Ulama tafsir, metode tafsir bi al-Ma’tsur berada pada martabat (tingkat) yang tertinggi
















PUISI "JENGAH"


Kupandangi hamparan pasir kehidupan
Sambil terpekur di dermaga penantian
Merenungi alurnya jalan fikiran
Aku terperanjat oleh senyummu
Yang kau kembangkan lewat bias pesonamu
Begitu anggun dan rapi dengan keangkuhan
Ku tersadar dari jamuan dan berusaha bangkit
Tapi apalah dayaku, aku hanya insan yang dhaif
Dimanakah letak kebenarannya..
Dan aku sadari apalah artinya aku dihadapanmu
Aku hanyalah punggung merindukan bulan
Mungkinkah...??? ku coba menghentikan penantianku
Karena aku jengah...jenuh...dengan semua ini..