MAKALAH PRAGMATISME

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu filsafat merupakan suatu ilmu yang berlandasan dan berangkat dari sebuah pemikiran. Dimana, kajian filsafat mempunyai tujuan bahwasanya sesuatu harus berbentuk kenyataan dan ada wujudnya. Untuk menggapai sesuatu yang nyata maka diperlukannya suatu kepastian, dimana kepastian itu bisa ditangkap dan dimengerti oleh akal pikiran. Maka, Tuhan menyuruh kepada manusia untuk menggunakan akalnya dengan sebaik-baiknya, sebagaimana firman Allah SWT dalam kitab suci Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi sebagai berikut:[1]
¨bÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏG÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$yg¨Y9$#ur Å7ù=àÿø9$#ur ÓÉL©9$# ̍øgrB Îû ̍óst7ø9$# $yJÎ/ ßìxÿZtƒ }¨$¨Z9$# !$tBur tAtRr& ª!$# z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# `ÏB &ä!$¨B $uŠômr'sù ÏmÎ/ uÚöF{$# y÷èt/ $pkÌEöqtB £]t/ur $pkŽÏù `ÏB Èe@à2 7p­/!#yŠ É#ƒÎŽóÇs?ur Ëx»tƒÌh9$# É>$ys¡¡9$#ur ̍¤|¡ßJø9$# tû÷üt/ Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbqè=É)÷ètƒ ÇÊÏÍÈ 
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”

Dari ayat diatas bisa kita simpulkan bahwa Allah menyuruh semua manusia tanpa terkecuali untuk berfikir atas semua kejadian yang telah ada di bumi ini. Agar seseorang akan menjadi bijaksana kalau seorang itu berfikir sebelum apa yang dikerjakannya. Dalam hal seperti ini bisa kita sebut berfilsafat.
Maka, makalah ini akan menyampaiakan atau membahas sebuah aliran filsafat yaitu aliran pragmatisme. Yang lebih spesifiknya yaitu dengan tokoh John Dewey.  John Dewey dalam aliran pragmatisme lebih suka menyebut dengan istilah instrumentalisme yang pemikirannya terpengaruh oleh pendahulunya yaitu Hegel, Darwin dan James.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan pragmatisme?
2.      Bagaimana sejarah filsafat aliran pragmatisme?
3.      Bagaimana biografi tokoh pragmatisme John Dewey?
4.      Apa yang dimaksud Konsep Dewey tentang pengalaman dan pikiran?
5.      Bagaimana pemikiran Dewey tentang Pendidikan progresif?
6.      Bagaimana Analisis kritis atas kekuatan dan kelemahan pragmatisme?
C.    Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pragmatisme.
2.      Untuk mengetahui sejarah filsafat aliran pragmatisme.
3.      Untuk mengetahui biografi John Dewey .
4.      Untuk mengetahui Konsep Dewey tentang pengalaman dan pikiran.
5.      Untuk mengetahui Dewey tentang Pendidikan progresif.
6.      Untuk mengetahui Analisis kritis atas kekuatan dan kelemahan pragmatisme.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme diambil dari kata Pragma (bahasa Yunani) yang berarti tindakan, perbuatan. pragmatisme mula-mula diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914). Sebenarnya istilah pragmatisme lebih banyak berarti sebagai metode untuk memperjelas suatu konsep ketimbang sebagai suatu doktrin kefilsafatan.[2] Sedangkan, Menurut Kamus Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat – akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme lainnya adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.
Dengan demikian, Pragmatisme berpandangan bahwa substansi kebenaran adalah jika segala sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Misalnya, beragama sebagai kebanaran, jika agama memberikan kebahagiaan; menjadi dosen adalah kebenaran jika memperoleh kenikmatan intelektual, menapatkan gaji atau apapun yang bernilai kuantitatif dan kualitatif. Sebaliknya jika memberikan kemadharatan, tindakan yang dimaksud bukan kebenaran, misalnya memperistri perempuan yang sakit jiwa adalah perbuatan yang membehayakan dan tidak dapat dikategorikan sebagai serasa dengan tujuan pernikahannya dalam rangka mencapai keluarga sakinah, mawadah warahmah.
B.     SEJARAH FILSAFAT PRAGMATISME
Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Aliran ini melahirkan beberapa nama yang cukup berpengaruh mulai Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931). William James mengatakan bahwa secara ringkas prgamatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Charles S. Pierce-lah yang membiasakan istilah ini dengan ungkapannya, “Tentukan apa akibatnya, apakah dapat dipahami secara praktis atau tidak. Kita akan mendapat pengertian tentang objek itu, kemudian konsep kita tentang akibat itu, itulah keseluruhan konsep objek tersebut.” Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep, kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. Keseluruhan konsekuensi itulah yang merupakan pengertian konsep tersebut. Jadi, pengertian suatu konsep ialah konsekuensi logis itu. Bila suatu konsep yang dipraktekkan tidak mempunyai akibat apa-apa, maka konsep itu tidak mempunyai pengertian apa-apa bagi kita.[3]
Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman. William James adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia. William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi. Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey. Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.[4]
Pragmatisme pada dasarnya merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan selama satu abad terakhir dan mencerminkan sifat-sifat kehidupan Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dangan Amerika sehingga Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok pembahasan dalam filsafat Barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyan what is harus dieliminir dengan what for dalam filsafat praktis.[5]
Dengan demikian, Aliran pragmatisme pertama kali tumbuh di Amerika sekitar abad 19 hingga awal 20. Dengan berbagai tokoh terkemuka yaitu, Charles Sanders Pierce (1839-1914), William James (1842-1910), John Dewey, dan seorang pemikir yang juga cukup menonjol bernama George Herbert Mead (1863-1931). Pragmatisme juga berkembang di eropa, namun sedikit perkembangnya. Ia lebih mendominasi diwilayah Amerika Serikat, sehingga pragmatisme memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di Amerika. Karena rakyat Amerika menginginkan sesuau itu harus yang kongkrit dan nyata yang bisa diterima oleh akal manusia.
C.    Biografi John Dewey
John Dewey dilahiran di Burlington pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan akhirnya di universitas Colombia (1904-1929).[6] John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika. Dewey sejak kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh terbesar darang dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.[7]
Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika. Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.[8]
Dewey adalah seorang pragmatis, namun ia lebih suka menyebut sistemnya dengan istilah Instrumentalis. Menurutnya tujuan filsafat ialah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara baik untuk di dunia dan sekarang.[9] Tegasnya, tugas filsafat yang utama ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (Experience), dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif kritis. Dengan demikian, filsafat akan dapat menyusun suatu sistem norma-norma dan nilai-nilai[10]
Instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu dengan cara utama menyelidiki bagaimana pikiran-pikiran berfungsi dalam penemuan-penemuan berdasarkan pengalaman yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Menurut Dewey, kita hidup di dunia yang belum selesai penciptaanya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meneliti tiga aspek dari yang kita namakan Instrumentalisme. Pertama, kata temporalisme, yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu. Kedua, kata Futurisme, mendorong kita untuk melihat esok dan tidak pada hari kemarin. Ketiga, Milionarisme berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini juga dianut oleh william James.[11]
Dapat saya simpulkan, John Dewey lahir pada tahun 1859. Setelah menyelesaikan studinya di Baltimore ia menjadi Guru Besar di bidang filsafat dan kemudian juga dibidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago, (1894-1904), dan akhirnya di universitas Colombia (1904-1929). John Dewey kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Ia juga berkunjung ke Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia untuk mengetahui pendidikan disetiap negar-negara yang ia kunjungi.
D.    Konsep Dewey tentang pengalaman dan pikiran
Pengalaman (Experience) adalah salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah “mengenai” (about) dan “untuk” (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses “ saling memengaruhi” (take and give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak orang yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam. Pengalaman adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.[12]
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman. Hal ini disebabkan karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna.[13] Maksudnya, pengalaman merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya. Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.[14]
Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.[15]
Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik, dunia tumbuhan dan binatang, dunia yang kita hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memakainya dan kemudian berusaha membentuk suatu masyarakat diamana setiap orang dapat hidup dalam kemerdekaan dan kecerdasan.[16]
Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan diluar hipotesis atau membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method) bagi semua lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika), estetika, politik dan lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan dengan lingkungan dan ebutuhan hidup.
Menurut Dewey yang dimaksud dengan  Scientific Method ialah cara yang dipakai oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan. Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve problematic situation), dan kalau berhasil maka pikiran itu benar.[17]
Dengan demikian, pengalaman merupakan salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Pengalaman tidak akan bisa terlepas, karena pengalaman berintegrasi dengan alam dan kehidupan manusia. Pengalaman tidak bisa kita lupakan karena, pengalaman bisa menjadi tolak ukur kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik. Pandangan John Dewey dalam pemikiran dan pengalaman ada istilah yang disebut instrumental, Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
E.     Dewey dan Pendidikan progresif
Dewey memandang bahwa tipe dari pragmatismenya diasumsikan sebagai sesuatu yang mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyrakat. Pendidikan dipandang sebagai wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup dimasa depan. Pendidikan nasional Amerika, Menurut Dewey, hanya mengajarkan muatan-muatan yang sudah usang (out of date) dan hanya mengulang-ngulang sesuatu yang sudah lampau, yang sebenarnya tidak layak lagi diajarkan kepada anak didik. Pendidikan yang demikian hanya mengebiri intelektualitas anak didik. Dalam bukunya Democracy and Education (1961), Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang adaptif and progresif bagi perkembangan masa depan.[18]
“Dewey elaborated upon his teory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to asumse their place in sociaty.”
Kutiapan diatas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan harus mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungan sosialnya. Sehingga, apabila anak didik telah lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakat.
Untuk merealisasikan konsep tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik diberi kebebasam sepenuhnya. untuk memecahkan suatu maslah-masalah tersebut sesuai dengan perkembangan kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar model ini guru bukan hanya satu-satunya sumber, bahka kedudukan seorang guru hanya membantu siswa dalam memecahkan kesulitan yang dihadainya. Dengan metode semacam ini, dengan sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya pusat informasi (metode pedagogy) diambil alih kedudukan oleh metode andragogy yang lebih menghargai perbedaan individu anak didik. Kedua learning by doing, konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bisa eksis dalam masyarakat bila telah selesai menyelesaikan pendidikannya. Maka, mereka dibekali keterampilan-keterampilan prkatis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.[19]
Dari uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa pendidikan progresif menurut John Dewey dalah pendidikan yang mampu membekali peserta didik agar bisa menyesuaikan, berpartisipasi maupun eksis dalam masyarakat. John Dewey menawarkan 2 metode pendekatan dalam pengajaran dengan cara problem solving method dan learning by doing. Metode problem solving method lebih menekankan tantangan dan kebebasan kepada peserta didik, dan guru bukan satu-stunya yang menjadi sumber. Metode learning by doing peserta didik dituntut agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Selain dituntut, peserta didik juga dibekali beberapa materi atau keterampilan agar mereka ketika keluar atau lulus dari sekolahnya dapat menyesuaikan dengan lingkungannya maupun masyarakatnya.
F.     Analisis kritis atas kekuatan dan kelemahan pragmatisme
Didalam aliran pragmatisme terdapat kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatan dan kelemahannya sebagai berikut:[20]
1.      Kekuatan Pragmatisme
a.       Kemunculan pragmatisme sebagai aliran filsafat dalam kehidupan kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuanyan yang pesat baik dalam pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil “membumikan” dari corak yang bersifat Tender Minded yang cenderung berfikir metafisi, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang memikirkan atas kenyataan, matrealis, dan didasrkan atas kebutuhan-kebutuhan disini(dunia), bukan nanti diakhirat. Dengan demikian, filsfat pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekadar mempercayai(belief) pada hal-hal yang sifatnya rill, indrawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktis-pragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
b.      Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sifat skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep melalui penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian, dan eksperimen-eksperimen sejingga muncullah temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan dibidang sosial dan ekonomi.
c.       Sesuai dengan coraknya yang “sekuler”, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti kebenaranya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia, dan gerak-gerakan progresif dalam masyarakat modern.

2.      Kelemahan Pragmatisme
a.       Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolut (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara ilmiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu “dibikin” manusia sendiri, secra tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang trensendental. Kemudian pada perkembangan lanjut, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada sikap Ateisme.
b.      Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materealis. Manusia berusaha secra keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhanyah, maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit materealisme.
c.        Untuk mencapai tujuan materealisme, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal waktu hanya sekadar memenuhi kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
Dengan demikian, bahwa di Negara Amerika serikat atau seluruh dunia yang menganut paham filsafat John Dewey dan William James kebanyakan mengarah kearah materealis, ateis, dan dehumanis.Paham pragmatisme mendewakan akal. Padahal akal itu terbatas, maka hal inilah yang tidak disadari oleh pakar ilmuan barat, pada hakikatnya yang dilakuakn manusia pasti ada campur tangan tuhan.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian diatas, dapat saya simpulkan sebagai berikut:
1.      Dikatakan pragmatisme jika yang kita pikirkan maupun yang kita tindakan bermanfaat atau berfungsi di dalam kehidupan.
2.      Pragmatisme berkembang sejak abad ke 19 atau 20. Tokoh awal pragmatisme adalah william James, kemudia yang terakhir yaitu John Dewey. John Dewey mendesain lagi pemikiran William James, melalui berbagai kunjungan-kunjungan di berbagai negara, diantaranya di eropa, china, jepang dan lain sebgainya. Dengan kunjungan itu maka dia menemukan pragmatisme yang berkaitan dengan pendidikan.
3.      John Dewey dilahiran di Burlington pada tahun 1859. Ia juga menjadi seorang guru besar filsafat dibidang pendidikan pada universitas-universitas di Mionnesota, Michigan, Chicago. Sejak kecil ia suka membaca. Banyak karya-karya yang sudah didpatkannya. Dia juga mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School.
4.      Menurut John Dewey, bahwa pengalaman tidak terlepas interaksi antara alam dengan kehidupan seseorang. Dimana pengalaman akan membantu kita dalam proses yang lebih baik dihari esok. Suatu pemikiran juga didasarkan atas suatu pengalaman seseorang dalam melakukan suatu tindakan. Dalam pandangan John Dewey tentang pemikiran dan pengalaman terdapat istilah instrumental, Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
5.      Pendidikan progresif menurut John Dewey dalah pendidikan yang mampu membekali peserta didik agar bisa menyesuaikan, berpartisipasi maupun eksis dalam masyarakat. John Dewey menawarkan 2 metode pendekatan dalam pengajaran dengan cara problem solving method dan learning by doing.
6.      Dalam aliran filsfat pragmatisme ada yang kelebihan dan ada juga kelemahannya. Kelebihannya seseorang dapat berfikir mulai dari hal yang terkecil. Kelemahannya seseorang akan bertindak egois.














DAFTAR PUSTAKA
Bernstein Richard J, Dewey John, dalam “The Encyclopedia of Philosophy.
Dewey John, Experience and Education, dalam “Great Book of Western World” (USA: Encyclopedia Britanica Inc, 1996).
Hadwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat.Cetakan Kedua, (yogyakarta:Kanisius, 1994).
Hanafi. A, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981).
Maksum Ali, Pengantar Filsafat , Cetakan Keenam, ( Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012).
Mayer Frederick, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951).
Praja Juhaya. S, Aliran-aliran Filsafat dan Etik, (Bandung: Yayasan Piara, 1993).
Sahakian William. S, History Of Phylosophy,(New York: Baner and Boble, 1986).
Shohib Muhammad, Al-qur’an dan Terjemahan,Cetakan Pertama, (Jakarta: Sygma Examedia Arkanleema,  2010)
Tafsir Ahmad, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra,( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009)
Titus Harold H, Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
wikipedia.org/wiki/Pragmatisme (jumat,15 maret 2013,  jam 08:20 WIB)



[1] Muhammad Shohib, Al-qur’an dan Terjemahan,Cetakan Pertama, (Jakarta: Sygma Examedia Arkanleema,  2010)
[2] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati sejak Thales Sampai Capra,( Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm.190-191
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra... hlm. 190
[4] wikipedia.org/wiki/Pragmatisme (jumat,15 maret 2013,  jam 08:20 WIB)
[6] Harun Hadwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat.Cetakan Kedua, (yogyakarta:Kanisius, 1994), hlm.116.
[7] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), hlm. 535.
[8] Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy...hlm. 535-536.
[9] Harold H. Titus, Persoalan-Persoalan Filsafat, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 347.
[10] Harun Hadwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat( Yogyakarta: Kanisius, 1994),  hlm. 133-134
[11] Juhaya. S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etik, (Bandung: Yayasan Piara, 1993), hlm 117.
[12] Haroid H. Titus, Persoalan-persoalan filsafat...hlm. 347.
[13] John Dewey, Experience and Education, dalam “Great Book of Western World” (USA: Encyclopedia Britanica Inc, 1996), hlm. 110.
[14] Richard J. Bernstein, Dewey John, dalam “The Encyclopedia of Philosophy, hlm. 381-382.
[15] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, hlm. 134
[16] Haroid H. Titus, Persoalan-persoalan filsafat...hlm. 349.
[17] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1981), hlm. 81-82.
[18] William. S. Sahakian, History Of Phylosophy,(New York: Baner and Boble, 1986),hlm. 267.
[19] William. S. Sahakian, History Of Phylosophy,(New York: Baner and Boble, 1986),hlm. 280.
[20] Ali maksum, Pengantar Filsafat , Cetakan Keenam, ( Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal. 206-208.

0 komentar:

Posting Komentar