A. Menjelaskan Pengertian
Maqamat dan Al-Ahwal Dalam Tasawuf
1.
Maqamat
Maqamat secara harfiah berasal dari
bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini
selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh
seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah. Dalam bahasa inggris, maqamat
dikenal dengan istilah stages yang berarti tangga.
Tentang berapa jumlah tangga atau
maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju tuhan, di
kalangan para sufi tidak sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya
at-Ta’arruf li Mazhab Ahl at-Tasawwuf, sebagaimana dikutip harun nasution
misalnya mengatakan bahwa maqamat itu jumlahnya ada 10, yaitu al-taubah, al-zuhud,
al-shabr, al-faqr, al-tawadhu’, al-taqwa, al-tawakkal, al-ridho, al-mahabbah
dan al-ma’rifah.
Sementara itu abu nasr al-sarraj al-tusi
dalam kitab al-luma’ menyebutkan jumlah maqamat hanya 7, yaitu al-taubah,
al-wara’, al-zuhud, al-faqr, al-tawakkal dan al-ridho.
Dalam pada itu, imam al-ghazali dalam
kitabnya ihya’ ulumuddin mengatakan bahwa maqamat itu ada delapan, yaitu
al-taubah, al-shabr, al-zuhud, al-tawakkal, al-mahabbah, al-ma’rifah dan
al-ridho.
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan
variasi penyebutan maqamat yang berbeda-beda, namun ada maqamat yang oleh
mereka disepakati, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal dan al-ridho. Sedangkan al-tawadhu’, al-mahabbah dan al-ma’rifah
leh mereka tidak disepakati oleh maqamat. Terhadap tiga istilah yang disebut
terakhir itu (al-tawadhu’, al-mahabbah dan al-ma’rifah) terkadang para ahli
tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang menyebutnya sebagai hal dan
ittihad (tercapainya kesatuan rohaniyah dengan tuhan). Untuk itu dalam uraian
ini, maqamat yang akan dijelaskan lebih lanjut adalah maqamat yang disepakati
oleh mereka, yaitu al-taubah, al-zuhud, al-wara’, al-faqr, al-shabr,
al-tawakkal dan al-ridho. Penjelasan atas masing-masing istilah tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. al
– zuhud
Secara
harfiyah al – zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat ke
duniawian. Sedangkan menurut harun nasution zuhud artinya keadaan meninggalkan
duniawi dan kematerian. Selanjutnya al – Qusyairi mengatakan bahwa diantara
para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang
mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang zuhud di dalam masalah yang haram, karena
yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah,yaitu orang yang
diberi nikmat berupa harta yang halal, kemudian ia bersyukur dan meninggalkan
dunia itu dengan kesadaranya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa
zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban.
Zuhud
termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan
diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan atau
mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, dari pada mengejar
kehidupan dunia yang fana dan sepintas lalu.
Bagi
Ibn Qayyim, dunia tidaklah dianggap buruk semuanya sehingga harus diabaikan,
ada yang baik, yaitu yang mengantarkan kepada Allah swt (Ibn Qayyim, 1996:
252). Seirama dengan ini, Ibn ‘Athâ Allâh menganjurkan seseorang agar
berhati-hati tidak terjebak dan tergelincir sehingga celaka akibat dunia.
Itulah yang dimaksudnya dengan tanfîr dan tahdzîr menyangkut harta dunia. (Ibn
‘Athâ Allâh, t.th: 93).
Kesamaan
lain terlihat pada proses pencapaian zuhd, yaitu perlu adanya
pengetahuan yang memadai bagi seorang sâlik tentang hakikat dunia ini
(Ibn ‘Athâ Allâh, t.th: 93). Sekalipun Ibn ‘Athâ Allâh menambahkan perlu adanya
faktor hidayah dari Allah swt., namun hal itu tidak terlepas juga dari ilmu
pengetahuan yang dimiliki. Kondisi batin zâhid menurut kedua tokoh ini
digambarkan bahwa dia telah sirna dari keinginan selain Allah swt. dan dari
sini akan timbul perbuatan terpuji (Ibn Qayyim, 1999: 133).
Perbedaan
hanya tampak pada peletakan zuhd itu saja, menurut Ibn ‘Athâ Allâh, zuhd
berada sebelum qana’ah (merasa cukup dengan yang dimiliki) (Ibn
‘Athâ Allâh, t.th: 133), sedangkan menurut Ibn Qayyim sebelum warâ’ dan
cinta akhirat (Ibn Qayyim, 1999: 253).
Cara
pandang kedua tokoh tentang dunia ini banyak direspon oleh tokoh-tokoh sufi dan
pemikir masa kini dan klasik, seperti Hamka, Quraish Shihab, Amîr an-Najjâr
yang setuju tidak menilai dunia ini jelek dan harus ditinggalkan dan seorang zâhid
tidak dalam arti berlari darinya (Hasan Abrari, 2001: 240).
2. Al
– Taubah
Al
– taubah berasal dari bahasa arab “taba, yatubu, taubatan” yang artinya
kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun
atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sunggu –sungguh tidak akan
mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal
kebajikan. Harun Nasution mengatakan taubat yang dimaksud sufi adalah taubat
yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Untuk
mencapai taubat yang sesungguhnya yang diterima oleh Allah terkadang tidak
dapat dicapai satu kali saja.
3. Al
– wara’
Secar
harfiyah Al – wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata
ini selanjutnya mengandung arti menjahui hal – hal yang tidak baik. Dan dalam
pengertian sufi al - wara’ adalah
meninggalkan segala yang didalamnya terdapat keragu – raguan antara halal dan
haram.
4. Kefakkiran
Secar
harfiyah fakkir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau
orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakkir adalah tidak meminta lebih
dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rejeki kecuali hanya
untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada
pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.
Maqâm
ini
menjadi menarik, sebab sebagian orang sering menuduh bahwa sumber kemunduran
Islam terletak pada diterimanya faqr sebagai ‘gaya hidup’ terpuji. Namun menurut Ibn Taymiyah, tokoh reformis ini
menganggap kaya secara material tetap terpuji dari kemiskinan, sebab menurutnya
kedamaian itu mungkin saja dirasakan oleh orang miskin, tetapi bagi orang kaya
lebih banyak (Taqy ad-Din Ibn Taymiyah, t.th: 129-131).
5. Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah
hati. Menurut zun al-nun al-mishry sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal
yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan
cobaan, dan menampakkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran
dalam bidang ekonomi.
6. Tawakkal
Secara Harfiah tawakkal berarti
menyerahkan diri. Menurut Sahal bin Abdullah, bahwa awalnya tawakkal adalah
apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang
memandikannya, ia mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan
bertindak. Hamdun Al-Qashashar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada
Allah. Menurut Ibn Al-Qayyim, penyerahan hati secara total kepada Allah setelah
menempuh sebab atau usaha (Ibn Qayyim, 1996: 118).
7. Kerelaan
Secara harfiah Ridla artinya rela, suka,
senang. Menurut Harun Nasution, Ridla berarti tidak berusaha menentang Qada’
dan Qadar Tuhan. Menerima Qada dan Qadar dengan senang hati. Mengeluarkan
perasaan benci dalam hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka sebagaimana merasa senang
menerima nikmat. Tidak meminta surga dari Allah
dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.
2.
AHWAL
Yang
sering dijumpai dalam perjalanan kaum sufi antara lain adalah Waspada, Dan
Mawas diri (Muhasabah dan Muroqobah), kehampiran atau kedekatan (qarb),
cinta(hubb), takut (khauf), harap(Raja’), Rindu(Syauq), Intim(uns),
Tentram(Tumakninah), Penyaksian (Musyahadah), dan yaqin.
Penjelasan Tentang Ahwal yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Waspada
dan mawas diri(musahabah dan muroqobah)
Waspada dan mawas diri
merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh karena itu, ada sufi yang
mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri merupakan dua sisi dari
tugas yang sama dalam menundukkan perasaan jasmani yang berupa kombinasi dari
pembawaan nafsu dan amarah.
Waspada (muhasabah)
dapat diartikan meyakini bahwa Allah mengetahui segala pikiran, perbuatan, dan
rahasia dalam hati, yang membuat seeorang menjadi hormat, takut, dan tunduk
kepada Allah. Adapun mawas diri (murqobah) adalah meneliti dengan cermat apakah
segala perbuatan sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang
dikehendakinya.
2. Cinta
(Hubb)
Dalam pandangan tasawuf
Mahabbah (cinta) merupakan pijakkan bagi segenap kemulian hal, seperti halnya
taubat yang merupakan dasar bagi kemulian Maqom. Karena Mahabbah pada dasarnya
adalah anugerah yang menjadi dasar pijakan bagi segenap hal, kaum sufi
menyebutnya sebagai anugerah-anugerah (Mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan untuk
memerhatikan keindahan atau kecantikan.
3. Berharap
dan Takut (Raja’ dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi
, Raja’ dan Khauf berjalan seimbang dan saling memengaruhi. Raja’ dapat bearti
berharap atau optimisme. Raja’ atau optimisme adalah perasaan hati yang senang
karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi. Raja’ atau optimisme ini
telah ditegaskan dalam Al qur’an.
“
Sesungguhnya orang-orang yang beriman yang hijrah dan berjihad di jalan Allah,
mereka itulah yang menghadap Rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
Orang yang harapan dan
penantiannya menjadikannya berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan,
berarti harapannya benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan,
sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia dan
percuma.
Raja’
menuntut tiga perkara:
a. Cinta
kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut
harapannya itu hilang.
c. Berusaha
untuk mencapainya.
Raja’
yang tidak dibarengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi ataulah hayalan.
Setiap orang yang berharap adalah orang yang takut (khauf). Orang yang berharap
untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Karena
takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula, orang yang mengharap
Ridho dan ampunan Tuhan ia akan takut akan siksa Tuhan.
Khauf
dan Raja’ saling berhubungan. Kekurangan khauf akan menyebabkan seseorang lalai
dan berani berbuat maksiat, sedangkan khauf yang berlebihan akan menjadikannya
putus asa dan pesimis. Begitu juga, terlalu besar sifat Raja’ akan membuat
orang sombong dan meremehkan amalan-amalannya, karena optimisnya berlebihan.
4. Rindu
(Syauq)
Selama masih ada cinta, Syauq tetap
diperlukan. Dalam lubuk jiwa rasa rindu hidup dengan subur, yakni rindu ingin
segera bertemu dengan Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti
cinta yang besar. Lupa kepada Allah lebih berbahaya daripada maut. Bagi Sufi
yang rindu kepada Tuhan, kematian dapat berarti bertemu kepada Tuhan, sebab
hidup merintangi pertemuan ‘abid dengan Ma’budnya.
Menurut Al-Ghazali,
kehidupan kepada Allah dapat dijelaskan melalui
penjelasan tentang keberadaan cinta kepadaNya. Pada saat tidak ada, setiap
yang dicintai pasti dirindukan oleh orang yang mencintainya. Begitu hadir
dihadapannya, ia tidak dirindukan lagi. Kerinduan berarti menanti sesuatu yang tidak
ada, bila sudah ada, tentu ia tidak dinanti lagi.
5. Intim
(uns)
Dalam pandangan kaum
sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu berteman tak pernah merasa
sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns :
Ada orang yang
merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan kekasihnya
sebab dimabuk cinta, seperti halnya, sepasang muda mudi. Adapula orang yang
merasa bising dalam kesepian. Ia adalah orang yang selalu memikirkan atau
merencanakan tugas pekerjaanya semata-mata. Adapun engkau, selalu merasa
berteman dimanapun berada. Alangkah muliannya engkau berteman dengan Allah,
artinya engkau selalu berada dalam pemeliharaan Allah.
Ungkapan
di atas melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan Tuhannya. Sifat
keintiman ini sering dialami oleh kaum
sufi.
B.
Menunjukkan
Contoh Orang Yang memiliki Maqamat Dan Al-Ahwal Dalam Tasawuf
Contoh
orang yang memiliki maqamat at-Taubah
Diceritakan bahwa ada
segerombolan penyamun yang telah menodong Syeh Abdul Qodir Al-Jailani, kemudian
gerombolan itu bertanya kepada Syeh Abdul Qodir, ”Apakah kamu punya benda
berharga?” Syeh Abdul Qodir menjawab, ”Aku mempunyai uang 40 dirham di balik
baju jubahku”. Penyamun itu tertawa, kemudian Syeh Abdul Qodir menunjukkan uang
40 dirham itu. Setelah melihat uang tersebut secara langsung, penyamun itu
terkejut melihat kejujuran Syeh Abdul Qodir. Penyamun itu lalu bertaubat dan
menjadi wali Allah.
Contoh
orang yang memiliki maqamat az-Zuhud
Sayyidah Nafisah adalah seorang yang
terkenal zuhud dan mengasihi manusia yang lain. Pernah satu ketika, beliau
menerima wang sebanyak 1000 dirham dari raja untuk keperluan dirinya. Beliau
telah membahagikan wang tersebut kepada fakir miskin sebelum sempat memasuki
rumahnya. Wang hadiah dari raja itu sedikit pun tidak diambilnya untuk
kepentingan dirinya. Semuanya disedekahkan kepada fakir dan miskin. Demikianlah
dermawannya Sayyidah Nafisah terhadap fakir miskin.
Contoh
orang yang memiliki maqamat al-Wara’
Diceritakan bahwa
ketika Imam Syafi’i menemukan sebuah jambu yang terhanyut di sungai. Beliau
mengambil dan berniat hendak memakan, namun beliau segera teringat bahwa jambu
tersebut tidak halal. Kemudian beliau menelusuri sungai itu dan menemukan pohon
jambu di pinggir sungai. Beliau bertanya pemilik pohon jambu, ”Apakah jambu
yang terhanyut di sungai ini milikmu?” Pemilik pohon itu berkata, “ya, itu
jambuku yang terhanyut di sungai”. Imam Syafii meminta maaf kepaada tukang
kebun itu, kemudian tukang kebun itu memberinya pekerjaan selama 1 tahun untuk
menebus kesalahannya.
Contoh
orang yang memiliki maqamat al-Faqr
Diceritakan bahwa ketika Ma’ruf
Al-Karkhy pergi berwudhu, ia meletakan Al-Qur’an dan jubahnya. Tiba-tiba
seorang wanita datang dan membawa benda miliknya. Ma’ruf mengikutinya dari
belakang lalu berkata, “ Wahai saudaraku, engka tidak apa-apa dengan
perbuatanmu ini. Apakah engkau punya seorang anak laki-laki yang dapat membaca
Al-Qur’an ? “ “Tidak, “ jawab wanita itu, Ma’ruf lalu berkata, “ kalau begitu
berikanlah Al-Qur’an itu, kembalikan kepadaku. Sedangkang jubah, silahkan
ambil. “
Contoh
orang yang memiliki maqamat ash-Shabr
Dikatakan bahwa anak-anak apabila
melihat Uways Al Qarny, mereka selalu melemparinya dengan batu. Karena itu ia
mengatakan kepada mereka, “jika kalian memang harus melempariku, gunakanlah
yang kecil agar kakiku tidak teluka, yang membuatku terhalang shalat. “
Suatu ketika seorang laki-laki memaki
Al-Ahnaf bin Qays dan menghinanya. Orang itu mengikuti dibelakangnya. Ketika
Al-Ahnaf sampai dekat lingkungan kediamannya sendiri, ia berhenti dan
menasasehati orang tersebut, “ wahai anak muda, jika engkau masih punya
kata-kata untuk di ucapkan, katakanlah sekarang, sebelum salah seorang
tetanggaku yang bodoh mendengar, dan menjawab kata-katamu.”
Contoh
orang yang memiliki maqamat at-Tawakkal
Ketika popularitas al-Qusyairy di Naisabur
semakin meluas, beliau mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam
dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar
menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah
itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada
orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam
merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu
dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana
diceritakan oleh as-Subky.
Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy
rata-rata kaum Mu’tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam
pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy,
dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri
itu.
Akhirnya para murid muridnya
bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan
majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya,
bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam
keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni
tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di selasela masa yang getir itu, beliau pergi
ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu
waktu luangnya, beliau pergi ke Thous.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis
berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja’, al-Qusyairy kembali
bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di
kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan
murid-muridnya bertambah banyak.
Contoh
orang yang memiliki ahwal syauq (rindu)
Sayyidah Nafisah adalah seorang yang
sangat kuat beribadah kepada Allah. Siang hari dia berpuasa sunat sedangkan
pada malamnya dia bertahajjud menghidupkan malam dengan berzikir dan membaca Al
Quran. Dia sungguh zuhud dengan kehidupannya. Hatinya langsung tidak terpaut dengan
kehidupan dunia yang menipu daya. Jiwanya rindu dengan syurga Allah dan sangat
takut dengan neraka Allah. Disamping itu Sayyidah Nafisah sangat taatkan
suaminya. Beliau sangat mematuhi perintah suami dan melayan suaminya dengan
sebaik-baiknya.
Contoh
orang yang memiliki ahwal hub (cinta)
Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf
dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi’ah Al-Adawiyah
(713-801) dari Basrah, cintanya yang mendalam kepada Allah memalingkan dirinya
dari segala sesuatu selain Allah. Dalam doanya, dia tidak minta dijauhkan dari
neraka dan tidak pula meminta masuk surga. Yang ia pinta adalah dekat dengan
Allah. Ia bermunajat, “Ya Tuhanku, jika aku puja engkau karena takut kepada
neraka, bakarlah aku karena Engkau. Janganlah sembunyikan keindahanmu yang
kekal itu dari pandanganku.”
Contoh orang yang memiliki ahwal uns
(intim)
Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rabi’ah Al-Adawiyah selalu
menolak lamaran-lamaran pria shalih, dengan mengatakan, ”Akad nikah adalah bagi
pemilik kemaujudan luar biasa. Sedangkan pada diriku hal itu tidak ada, karena
aku telah berhenti maujud dan telah lepas dari diri. Aku maujud dalam tuhan dan
diriku sepenuhnya milikNya. Aku hidup dalam naungan firman-Nya. Akad nikah
mesti diminta darinya, bukan dariku.” Rabi’ah tenggelam dalam kesadaran akan kedekatan dengan tuhan. Ketika sakit ia
berkata dengan tamu yang menanyakan sakitnya, ”Demi Allah aku tak merasa sakit,
lantaran surga telah ditampakkan bagiku sedangkan aku merindukanya dalam hati, dan
aku merasa bahwa tuhanku cemburu kepadaku, lantas mencelaku. Dialah yang
membuatku bahagia.”
C.
Mengaitkan
Maqamat Dan Al-Ahwal Dalam Tasawuf Dengan Fenomena Sosial
Ada kesan sementara pihak bahwa tasawuf
bersifat individual, pinggiran, dan tidak mempunyai tanggung jawab sosial yang
lebih riil. Pemahaman dan kesan seperti ini adalah pemahaman klasik. Meski
demikian pemahaman seperti ini tidak bisa disalahkan begitu saja, karena hal
ini ditimbulkan dari pemahaman ulama klasik bahwa yang namanya tasawuf itu
mengisolasikan diri dari keramaian dunia, termasuk di dalamnya adalah harta dan
pangkat atau jabatan.
Pemahaman ulama klasik ini didorong oleh
pemahaman secara sepihak terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadits yang bernada
mendeskriditkan terhadap dunia, tanpa mau melihat ayat atau hadits yang bernada
positif terhadapnya. Pemahaman ini tidak bisa disalahkan sebab pemahaman ini
sejalan dengan situasi dan kondisi yang ada (kontekstual) pada waktu itu, dan
orang kaya waktu itu terjadi sedemikian rupa, sehingga menuntut sebagian sufi
untuk melakukan penarikan diri dari keramaian duniawi.
Pemahaman seperti itu tentunya tidak
sesuai lagi dengan situasi dan kondisi sekarang, karena pada masa mdern seperti
sekarang ini tasawuf dihadapkan pada tanggung jawab sosial dalam kehidupan
nyata.
Tanggung jawab nyata itu antara lain
bersifat spiritual, psikologis, politik, moral, intelektual, ekonomi dan
sebagainya. Tanggung jawab spiritual, tasawuf hendaknya bisa memberikan
kesejukan kepada masyarakat, terutama pada masa kritis. Dalam aspek psikologis,
tasawuf hendaknya memberikan solusi bagi problema penyakit modern seperti
stress, depresi, dan sebagainya. Dalam aspek politik, tasawuf dituntut untuk
memecahkan ketidakadilan dan pemihakan terhadap kaum dhu’afa’.
Demikian juga dalam bidang ekonomi.
Tasawuf hendaknya bisa lebih memeratakan sembilan bahan pokok kepada masyarakat
luas. Dalam bidang moral, tasawuf hendaknya bisa menanggulangi kenakalan remaja
dan kaum tua yang sangat menyedihkan, dan dalam aspek intelektual hendaknya
tasawuf melakukan renungan yang bersifat intuitif, sebagai alternatif pemecahan
masalah, di samping rasionalisme dan empirisme.
Dengan demikian, tasawuf dituntut lebih
bersifat pragmatik, empirik dan fungsional. Artinya tasawuf dituntut untuk
lebih menyentuh kehidupan riil manusia modern, lebih mampu menyelesaikan
problema yang bersifat pengalaman, dan mempunyai peran riil dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian, tasawuf akan menjadi tumpuan harapan bagi seluruh
lapisan masyarakat.
SOAL-SOAL
PILIHAN GANDA
1. Menurut
bahasa maqamat adalah.....
a.Tempat
orang berdiri
b.
Berjalan diatas
tingkat
c.Tempat
melangkah
d.
Pangkal Mulia
e.A
dan D benar
2. Berikut yang bukan termasuk maqamat yang
disepakati...........
a. At-Taubah,Al-Zuhud,Al-Wara’
b. Al-Faqr,Al-Shabr,At-Taubah
c. Al-Ridha,Al-Wara’,Al-Shabr
d. Al-Ridha,At-Taubah
e. Tawakkal,Al-ma’rifah,Al-Mahabbah
3. Tidak ingin sesuatu
yang bersifat keduniawian disebut............
a. At-Taubah
b. Al-Faqr
c. Al-Ridha
d. Al-wara’
e. Zuhud
4. Berikut yang bukan
termasuk ahwal adalah......
a. Waspada
b. Rela
c. Cinta(hubb)
d. Berharap(raja’)
e. Takut(khauf)
5. Raja’ menurut
perkara berikut kecuali......
a. Rela demi semua
b. Cinta kepada apa
yang diharapkan
c. Mudah putus asa
d. Takut harapanya
hilang
e. Jawaban a dan c
benar
6. Apakah arti
intim(UNS)........
a. Rela memberikan apa
saja
b. Takut harapannya
hilang
c. Mudah putus asa
d. Merasa selalu
berteman tidak sepi
e. Cinta kepada dunia
7. Berikut adalah
seorang sufi yang memiliki sifat shabar adalah......
a. Uways Al-Qarny
b. Baabullah Al-Kudri
c. Ibrahim bin adam
d. Aziz Al-Bhukari
e. Ibnu hubaidah
8. Apa artinya Al-Wara’
secara harfiyah adalah........
a. Patuh
b. Mengerti
c. Rela
d. Shaleh
e. Pandai
9. Orang yang berhajat,
butuh atau miskin disebut....
a. Ridha
b. Kefakiran
c. Sabar
d. Tawakkal
e. Taubah
10. Menurut Al-Ghazali
dalam kitabnya ihya’ ulumuddin mengatakan kalau maqamat ada....
a. Empat
b. Lima
c. Enam
d. Tujuh
e. delapan
ESSAY
1. Apa
pengertian maqamat?
2. Berikan
contoh maqamat zuhud.
3. Jelaskan
pengertian al-ahwal dalam tasawuf
4. Sebutkan
macam – macam al – ahwal.
5. Kaitkanlah
maqamat al – ahwal dalam kehidupan fenomena sosial
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Umar,ibnu
Mahali, Perjalanan Rohani Kaum Sufi, Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2000
Rosihon Anwar, Solihin,
Ilmu Tasawuf, Bandung, CV PUSTAKA SETIA, 2008
Sukur,Amin, Menggugat
Tasawuf, Yogyakarta, PUSTAKA PELAJAR, 1999
3 komentar:
Bandar Bola Dengan Pasaran Terbaik Indonesia Hadir Dalam Android, Iphone, dan Laptop
Tersedia Pasaran Sbobet - Maxbet - 368Bet
Bonus Deposit Pertama 10% / Cashback 5% - 10%
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www. bolavita .fun
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
BBM: BOLAVITA
WA: +628122222995
https://bolavitasport.news/2019/02/18/prediksi-bola-chelsea-vs-manchester-united-19-februari-2019/
https://www.judisabungayam.co/jadwal-pertandingan-sv388-kungfuchicken-online-19-februari-2019
Alhamdulillah.... Allah akan membangkitkan para ulama ulama sufi...
Alhamdulillah terimakasih ijin copy paste
Posting Komentar