TAFSIF
BIL MA’TSUR
A. PEMBUKAAN
Assalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kepada Allah sang khaliq
pencipta seluruh yang ada di alam semesta ini yaitu Allah azzawajalla.
Berkat limpahan nikmat islam dan nikmat iman , serta nikmat-nikmat
yang lain yang tiada kira, nikmat kesehatan,nikmat kenikmatan kepada kita
semua, sehingga sampai saat ini kita masih dapat berpegang teguh kepada
penyempurna agama-agama sebelumnya yaitu agama islam, yang harus kita yakini
akan membawa kita kedalam alam akhirat yang abadi yaitu surga Illahi Rabbi.
Sholawat beriringan dengan salam, senantiasa kita panjatkan kepada
junjungan besar kita Nabi agung Muhammad SAW. Khotamul ambiya wal mursalin
yaitu sebagai penutup para Nabi dam Rasul sebagai pembawa rahmat dari Allah SWT
yang diberikan kepada umat-umatnya yang beriman kepada-Nya, yang pastinya
bukanlah satu-satunya harapan kita, satu-satunya ujung tombak kita agar selamat
di dunia dan di akhirat dengan pemberian syafaat Allah melalui Nabi Muhammad
SAW yang diberikan kepada kita.
Ada dua bentuk tafsir, tafsir bi ma’tsur dan tafsir bi ra’yi.
Disini kemi dari kelompok 1 akan membahas beberapa hal yang menyangkut dengan
tafsir bil ma’tsur. Beberapa pengertian dan banyak kitab-kitab yang akan kita
bahas bersama. Semoga Ilmu yang kita pelajari bersama akan bermanfaat dan
diridhoi oleh Allah. Amin.
B. PEMBAHASAN
1. Awal-Awal Munculnya Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Sepeninggal Nabi
Muhammad SAW, ummat Islam pada dasarnya belum mengalami kesulitan yang parah
dalam memahami isi kandungan kitab suci Al-qur’an, hal demikian karena apabila
terdapat bahagian-bahagian tertetu dalam Al-qur’an yang dianggap rumit, para
sahabat akan saling mendiskusikannya satu sama lain yang barang kali ada di
antara mereka yang yang mengetahui bagaimana penafsiran Nabi terhadap persoalan
dimaksud.
Walaupun demikian tidak
dapat terelakkan terhadap beberapa persoalan-persoalan yang muncul setelah Nabi
wafat, yakni ketika para sahabat tidak menemukan gambaran hukumnya melalui
tafsiran-tafsiran yang berdasarkan penafsiran Rasulullah SAW. Lalu bagaimanakah
sikap para sahabat saat mengalami prihal tersebut.? Oeleh Muhammad Zaini
menjelaskan dalam bukunya Ulumul Qur’an suatau pengantar: “Jika hal ini
tidak ditemukan, maka mereka melakukan ijtihad sedapat mungkin dengan melakukan
upaya internalisasi dengan nabi. Upaya internalisasi disini maksudnya adalah
merasakan seolah-olah Nabi hadir disisi mereka.yakni pada saat upaya ijtihad
dilakukan”.
Jadi bila terdapat
persoalan yang tidak ada jawaban hukumnya, dalam hal ini para sahabat tidak
langsung melakukan ijtihad sebelum menempuh upaya-upaya terhadap penelusuran
atau mencari bentuk tafsiran-tafsiran yang telah ada dari Nabi, dengen kata
lain, bila ada persoalan hokum para sahabat lebih dulu melihat sejauh mana
masalah ersebut telah ditafsirkan oleh Rasulullah, dan siapa sahabat-sahabat
lain yang mengetahui bagaimana penafsiran Nabi tehadap masalah tersebut.
Langkah dan upaya para
sahabat seperti tersebut diatas selanjut nya diikuti oleh para tibi’in
berikutnya. Yakni mereka mempedomani model-model yang berdasarkan tafsiran
Nabi, dan sahabat yang diakui oleh semua kalangan tabi’in sebagai guru mereka.
Secara historis, tafsir
bilma’tsur hinnggga penghujung generasi tabi’in yaitu sekitar tahun 150
H. dan setelah tahun tersebut sejarah tafsir memasuki priode ke dua sejarahnya,
pada periode kedua ini ummat Islam ditantang oleh brbagai kebutuhan untuk
memahami dan enafsirkan al-Qur’an lebih instensif.
Didalam masa tabi’in
timbullah usaha-usaha munyusun kitab-kitab tafsir, dalam masa inilah
dikumpulkan pendapat-pendapat sahabat dan pendapat-pendapat tabi’in maka
terwujudlah beberapa kitab tafsir diantaranya: Tafsir Sufyan Ibnu Umayyah,
Tafsir Wali Ibnu al-Jarah, Tafsir Syu’bah Ibnu al-hajjaj dan lain-lain.
Adapun tafsir yang sudah ada di pandang belum dapat mejawab semua tantangan dan
persoalan-persoalan baru.
ü Dasar-Dasar Pambahagian Metode Tafsir dan Corak Ragamnya
Seiring dengan putaran
waktu, ilmu tafsir terus berkembang, dan kitab-kitab atau buku yang
berkenaan dengannya terus bertambah dalam beraneka corak ragamnya masing-masing
sesuai dengan perkmbangan masanya sendiri.
Para ulama tafsir
belakangan kemudian memilah kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisannya
kedalam empat bentuk tafsir, yaitu: metode tahlili, ijmali, muqarin dan
mawdhu’i.
Selanjutnya dalam
memberikan pengertian metode tahlili yang termasuk dalam salah satu dari empat
pembahagian bentuk tafsir, sekelompok tim penulis Prof. Dr.M. Qiraish Shihab
dan kawan-kawannya menjelaskan dalam buku nya Sejarah dan Ulumul Qur’an bahwa:
Tafsir metode tahlili adalah tafsir yang menyoriti ayat-ayat al-Qur’an dengan
memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung didalamnya sesuai urutan
bacaan yang terdapat di dalam al-Qur’an Mushaf ‘utsmani.
Melihat dari definisi
tafsir tahlili diatas dapat dipahamii bahwa: seorang pentafsir yang menempuh
jalan ini diharuskan mampu memberikan perhatian sepenuhnya kepada semua aspek
yang terkait dan terkandung dalam sebuah ayat yang di tafsirknya.
Maka dari bentuk
tinjauan dan kandungan informasi yang terdapat dalam tafsir tahlili yang
jumlahnya sangat banyak, dapat dikemukakan ada tujuh metode tafsir yang
terkandung didalam tafsir tahlili, salah satu diantaranya adalah: Al-tafsir bi
al-Ma’tsur, (yang dikaji dalam makalah ini), sedangkan yang lainnya
yaitu: Al tafsir bi al-ra’yu, Al tafsir al-faqih, Al tafsir al-sufhi, Al tafsir
al-falsafi, Al tafsir al-‘ilmi dan Al tafsir al-ijmali.
ü Defenisi al-Ma’tsur
Pengertian Al-ma’tsur
adalah berasal dari kata atsar yang berarti bekas, yakni segala sesuatu yang
ditinggal oleh generasi sebelunmnya.
Kata al-ma’tsur adalah
isim maf’ul (obyek) dari kata atsara ya’tsiru atau yuastiru atsran wa-atsaratan
yang secara etimlogi berarti menyebutkan atau naqal (mengutip),
memuliakan atau akrama (menghormati). al-atsara juga berarti sunnah, hadits,
jejak, bekas, pengaruh dan kesan, dimana Pada hakikatnya mengacu pada makna
yang sama yaitu: mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada pada orang lain
atau masa lalu.
ü Defenisi al-Tafsir bil al-Ma’tsur
Sejalan dengan
pengertian harfiah tafsir bil al-ma’tsur yang dikenal juga dengan tasir bi
al-riwayah, tafsir bi al-manqul, adalah: penafsiran yang dilakukan dengan cara
menafsirkan al-Qur’an dengan petunjuk al-qur’an itu sendiri, menafsirkan ayat
al-qur’an dengan al-sunnah al-mubayyinah, dan atau menafsirkan al-Qur’an
dengan kalam (pendapat) Sahabat, bahkan Tabi’in menurut sebahagian Ulama.
Dalam buku Ilmu Tafsir
(DR. Rosihan Anwar), Al-farmawi menjelaskan, tafsir bi al-ma’tsur (disebut pula
bi ar-riwayah dan an-naql) adalah penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan pada
penjelasan al-Qur’an itu sendiri, penjelasan Nabi, penjelasan para Sahabat
melalui ijtihatnya, dan pendapat (aqwal) tabi’in.
Dengan demikian dari
pemahaman sejumlah literatur diatas yang menjelaskan pengerian tafsir bi
al-ma’tsur, dapat disimpulkan bhawa al-tafsir bil al-ma’tsur adalah penjelasan
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan mempergunakan a) ayat-ayat Al-Qur’an, b)
riwayat yang berasal dari Rasulillah Saw, c) riwayat dari sahabat, atau d)
riwayat dari para tabi’in menurut sebahagian Ulama.
2. Bentuk-Bentuk Tafsir Bi Al-Ma’tsur
Perkembangan metode tafsir ini dapat dibagi menjadi dua priode, yaitu
priode lisan ketika penafsira dari nabi SAW dan para sahabat disebarluaskan
secara periwayatan. Dan priode tulisan ketik riwayat-riwayat yang sebelunya
tersebar secara lisan itu mulai dibukukan.
Dalam pertumbuhannya, tafsir bil al-ma’tsur menempuh tiga priode: priode
pertama yaitu masa Nabi, sahabat dan permulaan masa tabi’in ketika tafsir belum
ditulis, pada priode ini, periwayatan tafsir secara umum dilakukan dengan
lisan ( musyafahah ). Priode kedua dimulai dengan masa mengodifikasikan hadits
secara resmi, yakni pada pemerintahan Umar Abd Al-‘Aziz ( 95-110.H. ), tafsir
bi al-ma’tsur ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun
dalam salah satu bab hadits, dan pada priode ketiga dimulai dengan penulisan
kitab tafsir bi al-ma’tsur dan berdiri sendiri.
Jadi dapat kita pahami bahwa, tafsir bi al-ma’tsur tumbuh dan berkembang
dalam dua bentuk tahapannya: yang pertama adalah tahapan periwayatan (lisan),
dan yang kedua adalah tahapan dalam bentuk pen-tadwinan (pembukuan).
ü Tafsir bi al-ma’tsur dalam bentuk periwayatan (lisan).
Pada tahap pertama,( tafsir bi al-ma’tsur dalam bentuk periwayatan), maksud
atau tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dijelaskan oleh
Nabi Muhammad Saw.
Rasulullah sendiri sebagai penerima wahyu menjelaskan maksud al-Qur’an kepada
para sahabat yang
Kemudian menyebarkannya kepada para sahabat lain yang tidak hadir mengikuti
majlis Nabi Saw. Jadi situasi yang demikian rupa terus berlangsung dan
berkelanjutan dikalangan para sahabat, yakni penafsiran dalam bentuk
periawayatan dari mulut kemulut (syafahiy) sampai pada masa para tabi’in yang
kemudiannya berkembang dalam bentuk tadwin (tulisan).
ü Tafsir bi al-ma’tsur dalam bentuk pen-tadwinan (pembukuan)
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa pada masa tabi’in Tafsir bi
al-ma’tsur mulai berkembang dalam bentuk pentadwinan (pembukuan), yakni
pengumpulan terhadap riwayat-riwayat yang berkenaan dengan penjelasan
ayat-ayat al-Qur’an.
Hanya saja masih menyatu dengan yang lain, sampai pada periode
ini tafsir belum mempunyai bentuk yang spesifik. Jadi konkritnya, tafsir dalam
tahap ini riwayat-riwayat mengenai al-Qur’an yang dikumpulkan dalam satu bab
tersendiri.
Dalam dua masa tersebut (masa sahabat dan tabi’in), banyak melahirkan
tokoh-tokoh tafsir dari kalangan sahabat dan tabi’in itu sendiri. Tokoh tafsir
dari kalangan sahabat dapat disebutkan seperti: Abdullah ibn Abbas, Ali bin Abi
Thalib, Abdullah ibn Mas’ud, Abu Bakar, Aisyah binti Abu Bakar, Zaid ibn Tsabit
dan lain-lain. Sedangkan tokoh tafsir dari tabi’in dapat disebutkan seperti:
Mujahid, Atha ibn Rabah, Ikrimah, Sa’id ibn Jubir, Zaid bin Aslam, Qatadah,
Hasan AL-Bashri dan lain-lain.
Seiring dengan maraknya kemajuan ilmu pada akhir Bani Umayyah dan awal
periode Bani Abbasiyah, tafsir lahir dan berkembang menjad ilmu yang berdiri
sendiri, terpisah dari hadits. Sejak saat ini kajian tafsir yang membahas
seluruh ayat al-Qur’an, ditulis dan disusun sisuai dengan susunan yang terdapat
di dalam al- mushaf.
Maka dimasa khalifah Abbasiah inilah usaha penulisan kitab-kitab tafsir
terwujud dan berkembang dikalangan tokoh-tokoh cendikiawan islam seperti kitab
at-Tafsir ibn Katsir (Ibnu Katsir), kitab atiTafsir Aththabari (at-Thabari).
4. Kitab-Kitab Tafsir Bi Al-ma’tsur:
a. Jami Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’annya Ibn Jaris Ath-Thabari (w. 310/923).
b. Anwar At-Tanzil karya Al-Baidhawi (w. 774/1286).
c. Ad-Dur Al-Mansur fi At-Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalal Ad-Din As-Saythi
(w.911/1505).
d. Tanwi Al-Miqbas fi At-Tafsiar Ibnu Abbas karya Fairud Zabadi (w.817/1414)
e. Tafsir Al-Qur.an al-azhim karya Ibnu Katsir (w.774/1373)
3. Thabaqah Masing-Masing Sumber Tafsir Bi Al-Ma’tsur
ü Al- Qur’an, Bagi para Ulama penafsiran ini (al-Qur’an dengan
al-Qur’an) menduduki posisi yang paling utama , atau model penafsiran yang
terbaik.
Para Ulama mengemukakan illah (alasan) nya, karena yang paling mengerti dan
mengetahui makna ayat-ayat al-Qur’an adalah penuturnya sendiri yakni al-Qur’an
itu sendiri. Jadi, al-Quran merupakan sumber terbaik dan paling sahih untuk
menafsirkan al-Qur’an.
ü As-Sunnah. Karena tidak semua nash al-Qur’an dijelaskan oleh al-Qur’an,
maka keberadaan as-Sunah sangat penting sebagai sumber kedua setelah
al-Qur’an. Sebagai rujukan referensi tafsir bi al-ma’tsur
ü Penjelasan Sahabat. Sealin al-Qur’an dan as-Sunnah pandangan para sahabat
juga berfungsi sebagai rujukan reperensi tafsir bi al-ma’tsur yang berada pada
urutan yang ketiga setelah as-Sunnah.
ü Pendapat Tabi’in. Aqwal (pendapat) para tabi’in sejalan dengan sebahagian
pandapat Ulama, maka ia termsuk rujukan referensi sumbertasir bi al-ma’tsur
yang berada pada urutan menyusul aqwal ata penjelasan para sahabat
C. PENUTUP
Dari semua uraian makalah ini dapatlah kita tarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut: pertama, Karena kebergaman pola penafsiran yang berkembang,
perlu kiranya mengenal bentuk tafsir yang lebih sedikit kemungkinan
tersalahnya.. Kedua, tafsir bi Al-ma’tsur adalah salah satu model tafsir yang
aman dari keterslahan dalam menjelasakan makna dan maksud al-Qur’an, ini karena
rujukannya adalah al-Qur’an itu sendiri, hadits, perkataan sahabat dan qaul
tabi’in. dan yang ketiga, menurut jumhur Ulama tafsir, metode tafsir bi
al-Ma’tsur berada pada martabat (tingkat) yang tertinggi